Instrumen investasi syariah telah telah menjadi bagian dari gaya hidup. Tidak hanya para dewasa saja, tetapi juga remaja sudah melek akan finansial di masa depan dengan berinvestasi pada berbagai instrumen.
Berhubung mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, maka wajar saja terdapat skeptis atas investasi konvensional. Nah, salah satu opsi utama atas permasalahan tersebut adalah berinvestasi syariah.
Instrumen investasi syariah alias produk-produknya itu ada banyak, sehingga kamu memiliki banyak pilihan yang menyesuaikan kondisi finansial. Apa saja instrumen investasi syariah yang masing-masingnya telah diatur oleh fatwa MUI? Yuk, simak penjelasannya berikut ini!
6 Instrumen Investasi Syariah Terbaik Beserta Fatwa MUI dan Risiko
Instrumen investasi syariah alias produk investasi syariah yang ada di pasar modal kebanyakan berupa efek (surat berharga). Hal ini juga sudah diatur dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah.
Dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa efek syariah adalah efek yang sebagaimana disebutkan UUPM dengan peraturan pelaksanaan mencakup akad, cara, dan kegiatan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Hingga detik ini telah berkembang 6 instrumen investasi syariah yakni saham syariah, obligasi syariah (sukuk), reksadana syariah, efek beragun aset syariah, Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, dan warran syariah.
1. Saham Syariah
Konsep dasar saham adalah surat berharga bukti penyertaan modal kepada suatu perusahaan, sehingga melalui bukti penyertaan tersebut maka pemegang saham berhak untuk mendapatkan bagian hasil dari usaha perusahaan terkait.
Nah, melalui konsep itu maka saham syariah adalah efek yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Namun ada hal yang perlu digaris bawahi bahwa tidak semua saham yang diterbitkan oleh emiten itu dapat disebut sebagai saham syariah.
Sebagai instrumen investasi syariah, keberadaan saham syariah telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun DSN-MUI, khususnya pada aturan Nomor 135/DNS-MUI/V/2020 tentang saham.
Dalam saham syariah ini memiliki aturan tersendiri, yakni dapat dikategorikan sebagai saham syariah jika diterbitkan oleh:
- Emiten yang secara jelas menyatakan bahwa anggaran dasar untuk melaksanakan kegiatan usaha tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
- Emiten yang tidak menyatakan bahwa anggaran dasarnya berupa kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, tetapi memuat kriteria sebagai berikut:
a) Kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, sebagaimana telah diatur dalam peraturan IX.A.13, yakni yang tidak melakukan kegiatan usaha:
- Perjudian dan permainan yang tergolong judi,
- Perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang/jasa,
- Perdagangan dengan penawaran/permintaan palsu,
- Bank berbasis bunga,
- Perusahaan yang pembiayaannya berbasis bunga,
- Jual beli yang memiliki risiko unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir),
- Memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan/atau menyediakan barang maupun jasa yang bersifat haram baik yang ditetapkan oleh DSN-MUI maupun Al-Quran,
- Melakukan transaksi yang mengandung unsur suap (risywah),
b) Rasio total hutang berbasis utang jika dibandingkan dengan total ekuitas, tidak lebih dari 82%
c) Rasio total pendapatan bunga dan total pendapatan tidak halal, jika dibandingkan dengan total pendapatan usaha dan total pendapatan lainnya tidak lebih dari 10%.
Baca Juga: Saham Syariah - Definisi, Perkembangan, dan 5 Indeksnya di Indonesia
2. Obligasi Syariah (Sukuk)
Obligasi syariah alias sukuk mengacu pada sertifikat atau bukti kepemilikan. Instrumen investasi syariah yang satu ini telah diatur dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13.
Dalam peraturan tersebut juga telah menyatakan definisi suku yakni “efek syariah yang berupa sertifikat atau bukti kepemilikan dengan nilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi), atas beberapa hal yakni:
- Aset berwujud tertentu (ayyan maujudat),
- Nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul ayyan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada,
- Jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada d. aset proyek tertentu (maujudat masyru’ muayyan),
- Kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah)”
Meskipun sama-sama disebut sebagai obligasi, tetapi sukuk ini mengacu pada prinsip syariah sehingga karakteristiknya pun berbeda dengan obligasi konvensional.
Sukuk bukan surat utang, tetapi bukti kepemilikan bersama atau suatu aset maupun proyek. Nah, setiap sukuk yang diterbitkan harus mempunyai aset yang kemudian dijadikan sebagai dasar penerbitan.
Klaim kepemilikan pada suatu sukuk didasarkan pada aset atau proyek yang secara spesifik. Selain itu, penggunaan dana sukuk juga harus demi kegiatan usaha yang halal.
Jenis-Jenis Sukuk
Berdasarkan Standar Syariah AAOIFI No.17 tentang Investmen Sukuk, membagi jenis-jenis sukuk menjadi:
- Sertifikat kepemilikan dalam aset yang disewakan.
- Sertifikat kepemilikan atas manfaat, terbagi menjadi 4 tipe: Sertifikat kepemilikan atas manfaat aset yang telah ada, Sertifikat kepemilikan atas manfaat aset di masa depan, sertifikat kepemilikan atas jasa pihak tertentu dan Sertifikat kepemilikan atas jasa di masa depan.
- Sertifikat salam.
- Sertifikat istishna.
- Sertifikat murabahah.
- Sertifikat musyarakah.
- Sertifikat muzara’a.
- Sertifikat musaqa.
- Sertifikat mugharasa.
3. Reksadana Syariah
Instrumen investasi syariah selanjutnya adalah reksadana syariah. Berdasarkan pada Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 menyatakan bahwa definisi reksadana syariah adalah “sebagaimana reksadana pada umumnya yakni salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka, tetapi masih mengacu pada prinsip-prinsip syariah”.
Reksadana syariah tetap memiliki manajer investasi sebagai wakil sahib al-mal. Hal ini telah diatur dalam Fatwa DSN-MUI Nomor. 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah,
Keberadaan reksadana syariah baru diperkenalkan pada tahun 1997, ditandai dengan diterbitkannya reksadana syariah Danareksa Saham.
Perbedaan yang mencolok antara reksadana syariah dengan reksadana konvensional adalah keseluruhan proses manajemen portofolio, screening (penyaringan), dan cleansing (pembersihan). Pada reksadana syariah tentu saja harus mengacu pada prinsip syariah.
Sementara persamaan reksadana syariah dengan reksadana konvensional adalah adanya peluang risiko berupa:
- Risiko Likuiditas
Risiko yang berkenaan dengan kesulitan Manajer Investasi jika ternyata sebagian besar pemegang unit melakukan penjualan kembali (redemption) atas sebagian besar unit penyertaan secara bersamaan.
Hal ini tentu saja dapat menyulitkan manajemen perusahaan terutama dalam menyediakan dana secara tunai.
- Risiko Berkurangnya Nilai Unit Penyertaan
Risiko ini dipengaruhi oleh turunnya harga pada Efek (baik itu saham, sukuk, dan surat berharga syariah lainnya) yang telah masuk dalam portofolio reksadana tersebut.
- Risiko Wanprestasi
Risiko ini menjadi risiko terbentuk karena kekayaan reksadana akan diasuransikan kepada perusahaan asuransi. Biasanya, risiko ini terjadi ketika suatu perusahaan asuransi yang mengasuransikan kekayaannya pada reksadana tersebut tidak segera membayar ganti rugi atau membayar lebih rendah dari nilai pertanggungan, saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Faktor lain yang menyebabkan risiko wanprestasi ini adalah bencana alam, pialang, bank kustodian, sehingga menyebabkan penurunan NAB (Nilai Aktiva Bersih).
- Risiko Politik dan Ekonomi
Risiko yang berkaitan dengan perubahan kebijakan ekonomi dan politik. Yap, situasi ekonomi dan politik yang terjadi di suatu negara dapat berpengaruh pada kinerja bursa dan perusahaan sekaligus.
Alhasil, membawa efek pada portofolio yang dimiliki suatu reksadana.
Baca Juga: Reksadana Halal atau Haram? Ini Pendapat MUI!
4. Efek Beragun Aset Syariah
Adalah efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA Syariah. Portofolionya harus mengacu pada prinsip-prinsip syariah, yakni terdiri atas:
- aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial,
- tagihan yang timbul di kemudian hari,
- jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan,
- efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah,
- sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara.
5. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (Rights Issue)
Instrumen investasi syariah ini telah diatur dalam Fatwa DSN-MUI No. 65/DSN-MUI/III/2008.
Produk turunan saham (derivatif) yang dinilai sesuai dengan kriteria DSN adalah produk rights. Mekanisme dipandang lebih menguntungkan daripada harus meminjam ke bank.
Hal tersebut karena dana yang diperoleh lebih murah, tak ada biaya tambahan termasuk biaya administrasi, karena dana dipasok oleh pemegang sahamnya sendiri.
Mekanisme rights bersifat opsional. Jadi, rights merupakan hak untuk membeli saham pada harga tertentu pada waktu yang telah ditentukan.
Rights ini diberikan kepada pemegang saham lama yang berhak untuk mendapatkan tambahan saham baru yang dikeluarkan perusahaan pada saat second offering. Berbeda dengan warran yang mana masa perdagangan pada rights sangat singkat, berkisar antara 1-2 minggu saja.
Baca Juga: Private Placement & Bedanya dengan Right Issues
6. Warran Syariah
Instrumen investasi syariah ini diatur dalam Fatwa DSN-MUI No.66/DSN-MUI/III/2008 tentang Warran Syariah.
Dalam fatwa tersebut telah memastikan bahwa kehalalan investasi di pasar modal tidak hanya berhenti pada insturmen efek yang bernama saham saja, tetapi juga pada produk derivatifnya.
Berdasarkan fatwa pengalihan saham dengan imbalan (warran), seorang pemegang saham diperbolehkan untuk mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada orang lain dengan mendapatkan imbalan.
Jadi, Kamu Pilih Instrumen Investasi Syariah yang Mana?
Salah satu instrumen investasi syariah yang lebih dikenal publik adalah saham syariah. Tenang saja, saat ini sudah banyak emiten yang menyediakan saham syariah.
Berhubung sekarang zaman sudah serba digital, maka untuk investasi syariah ini dapat dilakukan melalui berbagai aplikasi investasi syariah. Salah satunya di InvestasiKu yang menyediakan berbagai emiten dengan saham syariah.
Mulai dari Bank Syariah Indonesia (BRIS), Bank Aladin Syariah Tbk (BANK), Bank BTPN Syariah (BTPS), dan Bank Panin Dubai Syariah (PNBS).
Yuk, download InvestasiKu dan tanamkan investasi syariah demi keuntungan yang lebih sesuai hukum Islam.
Sumber:
Ali, Fajri. (2016). Pasar Modal Syariah. Otoritas Jasa Keuangan, 3(1).
Kulsum, U., & Tamimah, T. (2021). Instrumen-Instrumen Investasi Syariah Sebagai Alternatif Investasi Bodong. BISEI: Jurnal Bisnis dan Ekonomi Islam, 6(2), 116-134.