China, sebagai salah satu konsumen batu bara terbesar di dunia yang sekaligus sebagai produsen batu bara terbesar di dunia ingin membatalkan kesepakatan yang sudah dicapai pada Desember 2021 silam, yaitu pembelian batu bara dari Indonesia.
Pembatalan ini muncul akibat terlambatnya pengiriman batu bara dari Jakarta akibat aturan terbaru dari pemerintah yang melarang batu bara diekspor ke luar negeri.
Selain itu, harga batu bara yang dipatok produsen Indonesia jauh lebih mahal dibanding harga batu bara local China.
Dua hal ini membuat China semakin mantap untuk membatalkan kontrak yang sudah disepakati di Desember 2021 silam.
Akibat dari pelarangan ekspor ini pula, produsen batu bara di Indonesia langsung mengalami penurunan penjualan, lalu munculnya penambahan biaya logistik dan dampak jauhnya yaitu jeleknya kredibilitas Indonesia sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia.
Baca juga: Daftar 15 Komoditas Impor Indonesia
Key Takeaway
Kewajiban DMO dengan harga pembelian maksimal USD70/ton ini menurut pemerintah sebenarnya masih menguntungkan produsen, sebab harga produksi 1 ton batu bara berkisar USD25 - USD30 per tonnya sehingga masih ada margin sekitar USD40/ton nya.
Namun, karena harga di Pasar spot yang jauh lebih tinggi yaitu berada di level USD160 - USD200/ton, maka produsen menganggap penjualan ke luar negeri jauh lebih menguntungkan dibanding menjual ke pasar domestik.
Sebenarnya, aturan DMO ini akan menguntungkan PTBA. Sebab PTBA salah satu produsen batu bara yang kandungan batu baranya paling cocok dengan kebutuhan PLN.
Sehingga, jika emiten batu bara lainnya tidak mampu memenuhi kebutuhan yang ditetapkan pemerintah, mau tidak mau emiten ini harus membeli ke PTBA untuk bisa memenuhi aturan ini.