Investasi sering dipandang hanya soal angka, grafik, dan analisis keuangan. Padahal, faktor yang paling menentukan hasil investasi seringkali bukan pasar, melainkan psikologi investor itu sendiri. Cara berpikir, perasaan, hingga lingkungan sosial sangat berpengaruh pada setiap keputusan yang diambilnya.
Rasa takut, serakah, bahkan ikut-ikutan tren di media sosial bisa membuat strategi investasi berantakan. Lagipula, semua sudah serba sosial media sehingga postingan konten orang lain atau bahkan influencer, langsung membuat individu merasa “harus” mengikutinya.
Nah, artikel ini akan membahas bagaimana psikologi mempengaruhi keputusan investasi, serta kenapa investor tidak boleh terjebak FOMO dan bahkan riding the wave atas tren viral.
Psikologi dalam Dunia Investasi
Psikologi investasi adalah cabang dari behavioral finance yang mempelajari bagaimana pikiran dan perasaan manusia mempengaruhi keputusan keuangan. Behavioral finance ini dikelompokkan menjadi 4 bagian yakni
- heuristic factors,
- prospect factors,
- herding factors,
- Market factors.
Pada Heuristics Factors ini mengacu pada aturan praktis yang didasari pengalaman. Namun hal itu memungkinkan dapat menimbulkan bias, terutama ketika investor melakukan pengambilan keputusan hanya berfokus pada perasaan tidak ingin mengalami kerugian saja. Padahal, ada faktor lainnya juga yang mungkin dapat mempengaruhi investasi.
Ingat, investor itu bukan robot alias hanya manusia biasa. Jadi, mereka dapat dengan mudah terpengaruh oleh bias kognitif, mood, dan tekanan sosial. Beberapa contoh bias psikologi yang sering muncul:
- Overconfidence bias: merasa terlalu yakin dengan prediksi sendiri.
- Loss aversion: lebih takut rugi daripada semangat mencari untung.
- Herding bias: ikut-ikutan apa yang dilakukan mayoritas.
- Recency bias: terlalu fokus pada kejadian terbaru.
Bias-bias ini membuat investor sulit berpikir jernih. Mereka bisa membeli di harga puncak hanya karena takut ketinggalan, atau menjual terlalu cepat karena panik.
Pasar investasi selalu bergerak naik-turun. Kondisi ini memicu emosi seperti takut, serakah, atau euforia sesaat Jika tidak terkendali, emosi tersebut bisa menimbulkan keputusan yang merugikan, apalagi jika investasi pada angka yang tinggi.
Saat pasar naik tajam, rasa serakah mendorong investor untuk menambah modal tanpa perhitungan.
Saat pasar turun drastis, rasa takut membuat investor menjual aset meski secara fundamental masih bagus.
Hasilnya? Investor membeli di harga tinggi, menjual di harga rendah. Inilah pola klasik investor emosional.
Baca Juga: Bagaimana Tren Global Berpengaruh Pada Reksadana?
Seberapa Besar Pengaruh Psikologi dalam Keputusan Investasi?
Banyak orang mengira investasi hanya ditentukan oleh analisis fundamental dan teknikal. Padahal, riset dalam behavioral finance menunjukkan bahwa psikologi bisa berpengaruh sama besar, bahkan lebih besar daripada data angka.
Investor seringkali tidak rasional, karena dipengaruhi oleh emosi, persepsi risiko, dan tekanan sosial daripada logika.
1. Emosi Mempengaruhi Timing Investasi
Investor sering membeli ketika harga sedang naik karena merasa optimis, dan menjual ketika harga turun karena panik. Pola ini justru berlawanan dengan prinsip “beli murah, jual mahal”. Akibatnya, keuntungan yang seharusnya bisa diraih hilang karena keputusan emosional.
Misalnya saat IHSG jatuh, banyak investor ritel buru-buru cut loss meski fundamental emiten masih bagus. Beberapa bulan kemudian, harga saham kembali naik, dan mereka menyesal karena sudah menjual.
2. Psikologi Menentukan Toleransi Risiko
Setiap orang punya tingkat kenyamanan berbeda terhadap risiko. Ada yang berani masuk ke saham volatile, ada yang hanya nyaman di reksadana pasar uang. Maka dari itu, kamu harus memahami apa profil risiko dan kemampuan investasi.
Di sisi lain, persepsi risiko sering tidak objektif. Investor bisa terlalu takut (risk averse) atau justru terlalu percaya diri (risk seeking). Tanpa pengendalian psikologi, mereka bisa salah memilih instrumen yang tidak sesuai dengan profil risiko pribadi.
3. Lingkungan Sosial Menambah Tekanan Psikologis
Lingkungan juga sangat berpengaruh. Jika teman-teman atau komunitas sedang ramai membicarakan saham tertentu, seseorang pasti merasa terdorong ikut membeli agar tidak tertinggal.
Media sosial memperkuat efek ini. Tren “FOMO” (Fear of Missing Out) lahir karena investor melihat orang lain memamerkan keuntungan. Padahal, jarang ada yang membagikan kerugiannya.
Sebut saja pada beberapa tahun lalu tengah tren kripto. Banyak orang membeli hanya karena viral di TikTok atau Twitter, bukan karena analisis. Ketika harga jatuh, mereka kaget dan rugi besar.
Baca Juga: Kenapa Harga Saham Bisa Naik-Turun? Berikut Penjelasan Beserta Jenis-Jenisnya
Fenomena FOMO dan Riding The Wave dalam Investasi
Salah satu bentuk psikologi investasi yang paling sering merugikan adalah FOMO (Fear of Missing Out).
FOMO terjadi ketika investor takut tertinggal peluang. Mereka merasa harus segera membeli karena semua orang terlihat untung. Padahal, keputusan ini biasanya tanpa analisis.
Contoh: saat harga saham X sedang naik, media sosial ramai membicarakan keuntungan fantastis. Banyak orang akhirnya ikut membeli hanya karena takut ketinggalan, bukan karena paham risiko.
Masalahnya, ketika tren berakhir, harga bisa jatuh tajam. Investor yang terjebak FOMO akhirnya menanggung kerugian besar.
Selain FOMO, ada juga fenomena riding the wave. Istilah ini merujuk pada kebiasaan ikut-ikutan tren investasi yang sedang viral di media sosial. Hampir sama dengan FOMO.
Misalnya, ada influencer yang memamerkan portofolio saham yang naik ratusan persen. Ribuan orang langsung ikut membeli aset yang sama, berharap mendapat hasil serupa.
Padahal, tidak semua informasi di media sosial akurat. Banyak yang hanya menampilkan sisi “manis” investasi, tanpa membahas risiko. Bahkan ada kemungkinan terjadi pump and dump, di mana harga sengaja dinaikkan lalu diturunkan setelah orang banyak ikut masuk.
Mengikuti tren secara membabi buta bisa berbahaya. Berikut beberapa dampak negatif yang sering terjadi:
1. Kerugian Finansial
Investor membeli di harga tinggi karena tren, lalu harga jatuh. Rugi besar pun tidak terhindarkan ‘kan.
2. Stres dan Penyesalan
Keputusan yang diambil tanpa analisis sering menimbulkan penyesalan. Investor merasa kecewa dan stres karena kehilangan uang dalam jumlah besar. Jika sudah stress, biasanya akan berdampak ke segala aspek kehidupan.
3. Kehilangan Fokus Jangka Panjang
Terlalu sering ikut-ikutan tren membuat investor lupa pada tujuan keuangan jangka panjang. Seolah semuanya harus didapatkan sesegera mungkin.
4. Mudah Dimanipulasi
Investor yang hanya ikut-ikutan tren mudah dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti oknum yang membuat rekomendasi palsu.
Misalnya pada tahun lalu, media sosial ramai membicarakan saham perusahaan X. Banyak influencer menyebut saham ini akan “to the moon”. Investor pemula jelas banyak yang ikut membeli saham tersebut tanpa riset.
Beberapa minggu pertama, harga saham memang naik. Tentu saja investor pemula merasa senang. Namun beberapa bulan kemudian, harga anjlok 40%. Banyak yang merasa panik, kemudian menjual rugi, dan akhirnya menyesal hingga stress.
Baca Juga: FOMO Saham - Definisi, Ciri, dan Alasan Tidak Boleh FOMO
Minat Berinvestasi ke Reksadana?
Nah, itulah penjelasan tentang bagaimana psikologi mempengaruhi keputusan investasi individu. Emosi seperti takut, serakah, dan euforia sering membuat investor mengambil keputusan yang tidak rasional. Fenomena FOMO dan riding the wave di sosial media turut memperbesar risiko kerugian karena keputusan diambil hanya berdasarkan tren, bukan analisis.
Ingatlah, investasi bukan soal ikut-ikutan, tetapi soal strategi yang konsisten. Perhatikan juga profil risikomu, terutama ketika berinvestasi pada reksadana. Jika profil risikomu konservatif, maka pilih reksadana pasar uang. Jika profil risikomu adalah moderat maka pilih reksadana pendapatan tetap. Jika profil risikomu agresif, bisa pilih reksadana saham. Namun apabila kamu cukup fleksibel dan ingin seimbang antara return serta risiko, bisa pilih reksadana campuran.
Semua reksadana-reksadana tersebut dapat kamu investasikan melalui aplikasi InvestasiKu. Mulai dari Mega Asset Greater Infrastructure, Cipta Dana Cash, Reksadana Pendapatan Tetap PNM Cinta Anak Bangsa Kelas Gold, Reksadana Bahana Primavera 99 Kelas G, maupun Trim Kapital Plus, ada di aplikasi InvestasiKu.
Jangan khawatir, aplikasi ini telah berada di bawah pengawasan OJK sehingga legal dan terpercaya. Yuk, download InvestasiKu dan tanamkan saham demi masa depan yang lebih baik.
Sumber:
Sisbintari, I. (2018). Sekilas Tentang Behavioral Finance. Jurnal Ilmiah Administrasi Bisnis Dan Inovasi, 1(2), 88-101.
Rahman, F., & Dewi, S. (2023). Pengaruh Overconfidence, Gambler’s Fallacy dan Loss Aversion Terhadap Keputusan Investasi di Sumatera Utara. Jurnal Riset Akuntansi dan Bisnis, 23(1), 54-62.