Dalam dunia investasi, setiap keputusan idealnya diambil melalui analisis yang matang, baik dari sisi fundamental maupun profil risiko pribadi. Namun kenyataannya, masih banyak investor terutama pemula yang justru terjebak dalam fenomena herd mentality, yaitu perilaku ikut-ikutan mengikuti mayoritas tanpa pertimbangan rasional.
Sekilas hampir sama dengan FOMO, tetapi herd mentality ini lebih fokus pada sudut pandang psikologi individu. FOMO menjadi salah satu alasan emosional kenapa orang mengalami herd mentality.
Fenomena ini semakin terlihat dalam dunia reksadana, di mana banyak investor pemula memilih produk reksadana populer hanya karena sedang ramai dibicarakan atau banyak teman maupun influencer membelinya. Hal ini sering kali dipengaruhi oleh FOMO (Fear of Missing Out) yang kerap dialami oleh Gen Z.
Apa Itu Herd Mentality dalam Investasi?
Secara psikologis, herd mentality adalah kecenderungan seseorang untuk meniru perilaku orang lain, terutama ketika merasa tidak yakin atau ragu mengambil keputusan sendiri. Dalam psikologi sosial, ini berkaitan dengan konsep social proof, yaitu kebutuhan manusia untuk merasa aman dengan mengikuti mayoritas.
Pemikiran seperti “orang-orang pada beli reksadana saham X, berarti investasi itu bagus… Aku ikut aja deh” adalah bentuk dari herd mentality. Dalam investasi, herd mentality bisa terlihat saat:
- Investor membeli reksadana tertentu hanya karena banyak orang melakukannya.
- Keputusan diambil berdasarkan tren media sosial, bukan analisis pribadi.
- Investor mengabaikan profil risiko dan tujuan finansial demi mengikuti “ramai-ramai” pasar.
- Takut disalahkan karena memiliki pemikiran berbeda, sehingga mengikuti suara mayoritas.
Contoh paling umum adalah ketika reksadana saham tertentu tiba-tiba naik karena performa jangka pendeknya, lalu mendadak banyak investor baru ikut masuk tanpa riset.
Faktor Terjadinya Herd Mentality
Ada beberapa faktor psikologis yang memengaruhi herd mentality pada konteks investasi, yakni:
1. Takut Salah Sendiri (Social Validation)
Banyak orang merasa lebih aman ketika keputusan mereka sama dengan mayoritas. Jika hasilnya buruk, mereka tidak merasa sendirian.
2. Kurangnya Pengetahuan Finansial
Investor pemula yang belum paham analisis investasi sering menjadikan kerumunan sebagai patokan kebenaran. Wajar saja karena investor pemula masih bingung tentang patokan, tetapi harus diiringi dengan wawasan finansial juga.
3. Pengaruh Media Sosial dan Lingkungan
Gen Z dan millennial cenderung mudah terpapar tren viral di sosial media, sehingga lebih rentan mengikuti informasi populer tanpa verifikasi. Apalagi jika tren viral tersebut berasal dari influencer terkenal.
4. Efek Dopamin dari Tren
Ikut sesuatu yang sedang populer bisa memberikan sensasi senang sementara (dopamine boost), mirip dengan rasa puas saat mendapat likes di media sosial.
Baca Juga: Bagaimana Psikologi Berpengaruh Pada Keputusan Investasi Seseorang?
Hubungan Herd Mentality dengan FOMO
FOMO adalah rasa takut ketinggalan momen atau peluang. Dalam investasi, FOMO mendorong orang untuk masuk ke suatu produk hanya karena takut atau cemas kehilangan potensi keuntungan yang sedang tren. Faktor utamanya adalah rasa takut kehilangan peluang.
Dalam konteks investasi instrumen apapun itu, FOMO muncul ketika kamu berpikir “Wah, semua orang cuan dari reksadana saham X, aku harus beli juga sebelum terlambat!”
Kaitan herd mentality dan FOMO tentu sangat kuat, khususnya di kalangan Gen Z dan milenial: Ketika melihat teman atau influencer menunjukkan return tinggi dari reksadana tertentu di sosial media, muncul kecemasan: “Kalau aku tidak ikut sekarang, nanti rugi.”
Media sosial kian memperkuat FOMO karena menampilkan “highlight” kesuksesan orang lain, bukan proses panjangnya. Akhirnya, keputusan investasi lebih didasarkan pada emosi, bukan analisis rasional.
FOMO dan herd mentality ini juga dapat terjadi pada investor reksadana. Misalnya pada kasus:
1. Reksadana Viral di Media Sosial
Ada reksadana saham yang viral karena return jangka pendeknya tinggi. Banyak investor pemula membeli. Namun ketika pasar turun, nilai investasi anjlok dan banyak yang keluar dengan kerugian.
2. Influencer Finansial di TikTok atau Instagram
Banyak Gen Z mengikuti rekomendasi influencer keuangan. Walaupun niatnya edukasi, seringkali konten terlalu singkat dan tidak menjelaskan risiko mendetail.
Jika influencer tersebut ternyata memang diperuntukkan mempromosikan produk investasi tertentu, maka secara langsung akan meminta penonton membeli produk tersebut. Tanpa menjelaskan risiko detail.
3. Ajakan di Grup WhatsApp atau Telegram
Kalau kamu cermat, ada banyak grup di WhatsApp maupun Telegram akan ajakan beli produk investasi tertentu. Walau terkesan solid karena dilakukan secara ramai-ramai, tetapi justru menjadi herd mentality yang berisiko tinggi.
Baca Juga: Bagaimana Pengaruh Influencer Terhadap Keputusan Investasi Gen Z?
Cara Menghindari Efek Herd Mentality dalam Investasi Reksadana
Di tengah situasi yang semua serba sosial media, memang agak sulit menghindari herd mentality ini. Namun mumpung belum terlambat, lakukan beberapa hal berikut ini supaya herd mentality tidak berdampak besar pada investasi reksadanamu.
1. Kenali Profil Risiko Pribadi
Selalu pegang teguh apa profil risikomu. Apakah itu investor konservatif, moderat, atau agresif. Pilih jenis reksadana sesuai dengan toleransi risiko, bukan tren saja.
Jika profil risikomu konservatif, maka pilih reksadana pasar uang. Jika profil risikomu adalah moderat maka pilih reksadana pendapatan tetap. Jika profil risikomu agresif, bisa pilih reksadana saham. Namun apabila kamu cukup fleksibel dan ingin seimbang antara return serta risiko, bisa pilih reksadana campuran.
2. Lakukan Riset Mandiri
Selalu baca fund fact sheet dari setiap produk reksadana yang hendak kamu beli. Pahami portofolio produk, track record manajer investasi, dan bandingkan dengan produk lain.
3. Fokus pada Tujuan Jangka Panjang
Ingat bahwa reksadana adalah instrumen jangka panjang. Jangan terjebak euforia jangka pendek yang membuat keputusan tidak konsisten.
4. Terapkan Diversifikasi
Alihkan dana ke beberapa jenis reksadana seperti pasar uang, pendapatan tetap, campuran, dan saham, agar risiko lebih seimbang.
5. Batasi Pengaruh Emosi dan Media Sosial
Ingat bahwa postingan sosial media biasanya menampilkan hasil terbaik, bukan seluruh perjalanan investasi. Buat strategi pribadi yang konsisten. Jika kamu menyimak konten seputar finansial, terapkan strategi yang cocok dengan profil risikomu. Jangan telan mentah-mentah seluruh konten.
Baca Juga: Diversifikasi Portofolio Reksadana - Strategi dan Simulasinya
Minat Berinvestasi ke Reksadana?
Nah, itulah penjelasan tentang bagaimana efek herd mentality pada reksadana dengan ikut-ikutan membeli reksadana populer. Fenomena ini berakar pada kebutuhan sosial untuk merasa aman dalam kelompok, yang diperparah dengan FOMO terutama pada generasi Z yang tumbuh di era digital.
Dampaknya bisa berbahaya. Mulai dari kerugian finansial, kurangnya diversifikasi, hingga hilangnya kepercayaan terhadap investasi. Namun, hal ini bisa dihindari dengan memahami profil risiko, melakukan riset mandiri, fokus pada tujuan jangka panjang, dan disiplin dalam diversifikasi. Ketika hendak berinvestasi pada instrumen apapun, termasuk reksadana, perhatikan profil risiko.
Jika profil risikomu konservatif, maka pilih reksadana pasar uang. Jika profil risikomu adalah moderat maka pilih reksadana pendapatan tetap. Jika profil risikomu agresif, bisa pilih reksadana saham. Namun apabila kamu cukup fleksibel dan ingin seimbang antara return serta risiko, bisa pilih reksadana campuran.
Semua contoh reksadana-reksadana tersebut dapat kamu investasikan melalui aplikasi InvestasiKu. Mulai dari Mega Asset Greater Infrastructure, Cipta Dana Cash, Reksadana Pendapatan Tetap PNM Cinta Anak Bangsa Kelas Gold, Reksadana Bahana Primavera 99 Kelas G, maupun Trim Kapital Plus, ada di aplikasi InvestasiKu.
Jangan khawatir, aplikasi ini telah berada di bawah pengawasan OJK sehingga aman dan terpercaya. Yuk, download InvestasiKu dan tanamkan saham demi masa depan yang lebih baik.
Sumber:
Sisbintari, I. (2018). Sekilas Tentang Behavioral Finance. Jurnal Ilmiah Administrasi Bisnis Dan Inovasi, 1(2), 88-101.
Rahman, F., & Dewi, S. (2023). Pengaruh Overconfidence, Gambler’s Fallacy dan Loss Aversion Terhadap Keputusan Investasi di Sumatera Utara. Jurnal Riset Akuntansi dan Bisnis, 23(1), 54-62.