Investasi reksadana sering dianggap sebagai pilihan yang aman, mudah, dan cocok untuk investor pemula. Memang kenyataannya demikian. Namun, meski tampak sederhana, ada dua musuh besar yang bisa menggagalkan strategi investasi yakni fear (ketakutan) dan greed (keserakahan).
Kedua emosi itu tidak hanya memengaruhi investor saham, tapi juga investor reksadana. Terlebih lagi di era digital ini, paparan media sosial memperkuat efek fear dan greed dalam pengambilan keputusan investasi.
Ada orang lain pamer screenshot yang menunjukkan return tinggi di sosial media, langsung menjadi serakah untuk ikut-ikutan. Nah, artikel ini akan membahas bagaimana fear dan greed bekerja dari sudut psikologi seorang investor.
Fear dan Greed pada Keputusan Investasi
Dalam psikologi investasi, fear dan greed dianggap sebagai dua kekuatan utama yang menggerakkan pasar.
Fear (Ketakutan) muncul ketika investor khawatir akan kehilangan uang. Rasa takut ini bisa membuat investor menjual reksadana terlalu cepat, bahkan ketika pasar hanya mengalami koreksi sementara. Rasa takut ini sebenarnya wajar, apalagi jika profil risiko investor tersebut adalah konservatif yang cenderung mengutamakan keutuhan dan keamanan nilai pokok investasi.
Sementara greed (keserakahan) muncul ketika investor ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu singkat. Greed membuat investor sering menaruh dana berlebihan pada produk yang sedang populer, tanpa memperhatikan risiko.
Kedua emosi ini dipengaruhi oleh bias kognitif manusia yakni:
1. Loss Aversion
Loss Aversion adalah rasa sakit karena kerugian yang dialami oleh investor saat melakukan investasi lebih besar daripada kesenangan yang berasal dari keuntungan. Singkatnya, manusia lebih takut rugi daripada senang untung.
Kehilangan Rp1 juta terasa lebih menyakitkan daripada rasa senang saat untung Rp1 juta. Jadi, investor lebih tertekan pada prospek kerugian dibandingkan keuntungan setara. Itulah mengapa, investor dengan profil risiko konservatif cenderung mencari investasi berisiko rendah.
2. Overconfidence Bias
Overconfidence Bias adalah perilaku seseorang yang sangat yakin atas kemampuan dan keahliannya dalam memprediksi sesuatu. Kondisi tersebut tentu berpengaruh pada keputusan investasi.
Sebenarnya, percaya diri memiliki dua sisi yang dapat menghasilkan yang baik dan sebaliknya. Kepercayaan diri yang terlalu tinggi justru memberikan risiko yang tinggi pula, sehingga tidak baik dalam pengambilan keputusan.
Biasanya, bias ini terjadi ketika investor pernah memprediksi keuntungan investasi dan berhasil. Alhasil, dirinya akan merasa yakin di kemudian hari untuk melakukan hal yang sama. Hal ini akan berbahaya apalagi jika tidak disertai analisis lebih lanjut.
3. Herd Mentality & FOMO
Perilaku ini berkaitan dengan perasaan takut tertinggal tren atau berbeda dari mayoritas di sosial media. Alhasil, membuat investor mudah mengikuti arus, baik dalam rasa takut maupun serakah.
Baca Juga: Bagaimana Psikologi Berpengaruh Pada Keputusan Investasi Seseorang?
Mengapa Investor Reksadana Rentan terhadap Fear dan Greed?
Banyak orang menganggap reksadana lebih aman daripada saham. Memang benar, tetapi bukan berarti reksadana tidak punya risiko. Investor reksadana tetap bisa terjebak dalam fear dan greed karena:
1. Kurangnya Pengetahuan Finansial
Banyak investor pemula membeli reksadana tanpa benar-benar memahami isi portofolionya. Begitu ada fluktuasi kecil, mereka panik. Maka dari itu, disarankan membaca fund fact sheet setiap hendak membeli produk reksadana.
Fund fact sheet ini bisa kamu temukan di website Manajer Investasi, atau mungkin perusahaan sekuritas yang ikut menjual produk reksadana tersebut. Di Mega Capital Sekuritas, kamu bisa akses fund fact sheet berbagai Manajer Investasi di laman ini.
2. Ekspektasi yang Tidak Realistis
Saat berinvestasi reksadana khususnya reksadana saham, pasti ada yang berharap mendapatkan kenaikan return seperti tabungan berbunga tinggi. Padahal, fluktuasi adalah hal wajar. Ekspektasi berlebihan ini memicu greed saat untung besar, dan fear saat pasar terkoreksi.
3. Pertama Kali Berinvestasi
Bagi banyak orang, reksadana justru menjadi pintu masuk ke dunia investasi. Sama halnya ketika menjalani pengalaman yang pertama kali, pasti belum terbiasa dengan apapun. Dalam konteks baru pertama kali berinvestasi, maka pasti masih “kaget” dengan risiko yang ada. Alhasil, muncul emosi cemas, marah, sedih, dan lainnya.
4. Minimnya Rencana Jangka Panjang
Investor yang tidak punya tujuan jelas seperti investasi untuk dana pensiun 20 tahun ke depan, cenderung lebih mudah terombang-ambing oleh perasaan takut dan serakah.
Peran Media Sosial dalam Memicu Fear dan Greed
Era digital seperti saat ini malah mampu membawa perubahan besar pada perilaku investor. Sosial media seperti TikTok, Instagram, Twitter, hingga YouTube bisa menjadi sumber informasi keuangan. Namun, alih-alih membantu, sering kali justru memperkuat fear dan greed.
Algoritma platform cenderung menampilkan konten yang memicu emosi. Postingan yang menimbulkan rasa takut atau serakah biasanya mendapat lebih banyak engagement. Sebut saja berbagai konten dengan judul clickbait pasti akan banyak ditonton dan tentunya mempengaruhi pola pikir para penonton. Yap, investor selaku penonton konten tersebut akan makin sering terpapar konten-konten serupa sehingga memperkuat emosi fear dan greed.
Misalnya, ada postingan tentang ekonomi global yang sedang resesi atau nilai tukar rupiah melemah. Investor reksadana bisa langsung panik, padahal dampaknya mungkin tidak besar pada portofolio jangka panjang.
Alhasil, muncul domino effect yakni saat orang lain memposting ketakutannya terhadap berita resesi itu, akan menimbulkan ketakutan bagi orang lain pula. Ketakutan tersebut dapat membuat investor pemula buru-buru mencairkan investasinya.
Pun demikian dengan emosi greed yang juga muncul akibat sosial media. Misalnya, banyak influencer atau teman yang membagikan screenshot keuntungan investasi. Hal ini bisa memicu rasa serakah dengan mendorong orang lain ikut membeli produk yang sama tanpa riset.
Contoh nyata adalah saat awal pandemi COVID-19, banyak investor dilanda ketakutan karena pasar turun drastis. Banyak yang buru-buru mencairkan reksadana mereka. Beberapa bulan kemudian, pasar berbalik naik tajam. Investor yang sudah keluar kehilangan kesempatan mendapatkan keuntungan.
Baca Juga: Herd Mentality dalam Investasi - Fenomena Ikut-Ikutan Beli Reksadana Populer
Minat Berinvestasi ke Reksadana?
Nah, itulah penjelasan tentang bagaimana fear (ketakutan) dan greed (keserakahan) menjadi musuh utama investor khususnya pada produk reksadana. Dari sisi psikologi, keduanya berakar pada bias kognitif manusia yakni rasa takut rugi yang lebih kuat daripada rasa senang untung, serta keinginan berlebihan untuk meraih keuntungan cepat.
Salah satu cara mengendalikan fear (ketakutan) dan greed (keserakahan) adalah memahami apa profil risikomu. Apakah konservatif, moderat, atau agresif? Dengan mengetahui toleransi risiko, investor lebih tenang menghadapi naik-turunnya pasar.
Jika profil risikomu konservatif, maka pilih reksadana pasar uang. Jika profil risikomu adalah moderat maka pilih reksadana pendapatan tetap. Jika profil risikomu agresif, bisa pilih reksadana saham. Namun apabila kamu cukup fleksibel dan ingin seimbang antara return serta risiko, bisa pilih reksadana campuran.
Semua contoh jenis reksadana tersebut dapat kamu investasikan melalui aplikasi InvestasiKu. Mulai dari Mega Asset Greater Infrastructure, Cipta Dana Cash, Reksadana Pendapatan Tetap PNM Cinta Anak Bangsa Kelas Gold, Reksadana Bahana Primavera 99 Kelas G, maupun Trim Kapital Plus, ada di aplikasi InvestasiKu.
Jangan khawatir, aplikasi ini telah berada di bawah pengawasan OJK sehingga aman dan terpercaya. Yuk, download InvestasiKu dan tanamkan saham demi masa depan yang lebih baik.
Sumber:
Badri, R. E., & Putri, M. E. (2021). Analisis pengaruh anchoring bias dan loss aversion dalam pengambilan keputusan investasi di kota Bandar Lampung. Jurnal Bisnis Darmajaya, 7(1), 39-51.
Theressa, T. D., & Armansyah, R. F. (2022). Pengaruh herding, overconfidence, dan endowment bias pada keputusan investasi investor pasar modal. Journal of Business and Banking, 12(1), 35.